Tuesday, March 10, 2015

Maaf..




 “Kalau bukan karena keinginanmu yang aneh itu,kita tak akan berada disini!”,teriak lelaki itu dengan gusar dan tepat di telingaku.
“Aku kira ini hanya lelucon konyol,dan aku ingin membuktikan ini salah,dan kau setuju untuk ikut. Jadi,ini semua salahku? Begitu?”,kilahku.
“Ya! Kalau bukan karena sifatmu yang keras kepala dan karena aku terpaksa, kita tidak akan berada disini! Selama 3 hari!”
Baiklah,aku tak bisa berkilah lagi. Ini memang salahku. Kata-katanya tadi seperti menamparku. Itu berhasil membuatku terdiam beberapa saat.
Kami sudah tersesat selama 3 hari. Dan ini karena keinginanku membuktikan bahwa kutukan hutan ini salah. Kami terus berjalan seharian penuh karena ingin segera pulang.
Dan karena kami ketakutan.
“Kemana kita harus pergi? Tempat ini selalu gelap.”, tanyaku pada lelaki tadi. Dia adalah kakakku. Aku tak bisa menahan diri untuk bicara dengannya. Bagaimanapun juga,aku adalah adiknya. Dan aku sangat menyayangi serta mengagumi Kak Arif.
“Entahlah. Kita harus segera keluar dari sini. Kita mulai kehabisan persediaan makanan.”,sahutnya sambil terus berjalan,tanpa menoleh sedikitpun.
Hening. Untuk beberapa saat yang terasa lama.
Keheningan terasa menyesakkan. Ditambah keadaan hutan yang suram,gelap,dan mencekam.
Hutan ini seolah tidak dihuni makhluk hidup selain pepohonan yang tinggi. Pohon-pohon tinggi ini terlihat begitu meremehkan keberadaan kami. Mungkin inilah yang membuat hutan ini terlihat suram.
Dan mengerikan. Tentu saja.
Kulihat ponselku. Baterainya hampir habis. Dan masih tidak ada sinyal disini. Itu terjadi sejak pertama kali kami menginjakkan kaki di hutan ini.
Tiba-tiba,
“Hei,lihat!”, seru Kak Arif yang tiba-tiba berhenti sehingga aku menabraknya karena terus berjalan sambil melamun.
“Kau lihat cahaya itu? Disana!” , tunjuk Kak Arif.
“Ya. Aku melihatnya. Tapi,..” , entahlah. Ada keraguan yang mengganjal di hatiku.
“Kenapa? Itu harapan terakhir kita. Ayo kita kesana!” , sahutnya tak sabar.
“Baiklah. Tapi, aku punya firasat buruk. Sebaiknya kita berhati-hati.” , jawabku. Jujur,aku agak ketakutan. Aku merasa curiga. Entah kenapa.
Kami berjalan ke arah cahaya itu. Semakin dekat dengan sumber cahaya itu,kami sadar kalau itu adalah cahaya yang berasal dari api unggun. Aku semakin merinding. Siapa yang berani datang ke hutan yang menurut cerita penuh kutukan ini selain anak iseng seperti kami? Bahkan sempat-sempatnya menyalakan api unggun? Apa penebang kayu? Tapi,sejak kejadian itu tidak ada penebang kayu yang berani datang kesini bukan?
Kami berjaga-jaga dengan mengintip dari balik pepohonan di dekat sumber cahaya tersebut. Kulihat seseorang berdiri di dekat api unggun itu. Dia berdiri menyamping,sehingga kami tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sepertinya orang itu masih muda. Dia berbadan tegap namun terlihat agak loyo.
“Kita minta bantuan padanya?” , tanyaku pada Kak Arif.
“Sebentar dulu. Kita lihat dulu apa yang hendak dilakukannya.” , sahut Kak Arif
Lama kami menunggu. Ternyata orang itu hanya berdiri terus di tempatnya bagaikan batu.
“Baiklah. Dia terlihat tidak berbahaya. Ayo kita minta bantuan padanya.” , bisik Kak Arif.
Aku menurutinya dan mendekati orang tersebut.
Tiba-tiba orang tersebut menoleh. Dan barulah kami sadar, dia memakai topeng yang sangat aneh. Topeng bergambar sebuah mulut yang lebar. Dengan warna dasar merah menyala.
Dan kejadian selanjutnya, membuatku kaget dan berharap segera lenyap ditelan bumi.
Dia menerkam Kak Arif,dan membekap mulutnya dengan satu tangan. Aku berusaha menyelamatkan Kak Arif. Namun,aku melihat benda berkilat yang dia pegang di tangannya yang tidak membekap mulut Kak Arif.
Itu adalah serpihan cermin yang pinggirnya terlihat tajam sekali.
Dia menodongkan benda itu ke arahku.
“Siapa kau?!” , jeritku histeris.
Jawabannya bukan kata-kata, bukan juga kalimat. Namun,sebuah tawa mengerikan yang terdengar asing.
Dan aneh. Seperti suara perempuan,namun berat sekali dan agak tedengar seperti menangis.
Kini,sekali lagi. Aku melakukan kesalahan. Dan aku tidak akan pernah bisa meminta maaf pada kakakku.
Orang itu mengukir wajah kakakku hingga dia menjerit dalam bekapan tangannya. Dan dia menghunjamkan serpihan cermin tadi berkali-kali ke badan kakakku. Sampai kurasakan cairan merah yang muncrat dan mengenai wajahku.
Aku merasakan seluruh dunia menjerit. Walau kutahu,itu adalah jeritanku sendiri.
Orang itu melepaskan bekapannya dan membiarkan kakakku tersungkur. Aku tak tahu apakah kakakku masih hidup atau tidak.
Kulihat cairan merah yang menggenang dekat kaki orang itu. Kemudian,orang itu menendang kakakku. Tentu saja aku keberatan melihat kakakku diperlakukan seperti itu.
Aku berusaha memukulnya, tapi itu ternyata kesalahan yang fatal. Dia menangkap tanganku dan mencengkeram tanganku. Tanganku rasanya akan segera remuk.
“Kau lucu. Bagaimana kalau kita bermain dahulu?”, orang itu bersuara.
“Siapa kau? Mengapa kau melakukan itu pada kakakku?”, sahutku dengan berlinang air mata. Aku ketakutan dan kesakitan. Karena tanganku masih dicengkeram olehnya.
“Aku? Aku bukanlah siapa-siapa.”,sahutnya dengan suaranya yang aneh,namun kini terdengar sangat santai. Aku sedang dipermainkan!
“Lepaskan aku. Kumohon... Kakakku... Aku tak bisa membiarkannya seperti itu. Aku tidak mau kehilangan kakakku!”
“Kau tidak mau kehilangan kakakmu? Bagaimana kalau kau menyusulnya?!”, jawabnya dengan suara menggeram.
Dan dia memukul kepalaku dengan keras sekali. Itu adalah hal terakhir yang kuingat sebelum semuanya menjadi gelap.
***
“Tidak. Kau tidak boleh kesana. Disana berbahaya” , suara Ayah yang tegas di teras rumah itu membuatku hampir melayangkan protes. Namun,sebuah ide licik tiba-tiba terbersit di benakku.
“Baiklah. Bagaimana kalau aku pergi ke bukit saja? Ayolah,hanya untuk merayakan. Sehari saja. Toh,tanggal 9 Januari hanya ada satu dalam setahun. Aku akan mengajak Kak Arif. Boleh kan?”
 “Kak Arif bisa ikut denganmu?” , tanya Ibuku dengan suara yang lembut.
“Tempo hari dia bilang dia bisa melakukannya.”
“Kenapa kau harus pergi sejauh itu? Rayakan saja di rumah,nak” , kata Ibuku.
“Bosan di rumah ,bu. Ibu akan pergi ke NTT bersama Ayah. Sedangkan, aku dan Kak Arif tentu tidak bisa ikut karena itu pekerjaan kalian. Sepi,bu.” , kilahku.
“Kalau begitu pergi saja ke pusat perbelanjaan bersama teman-temanmu.” ,sahut Ayahku.
“Ayah tahu sendiri bukan teman-temanku seperti apa. Aku tidak mau bersama mereka”
“Hhhhh! Baiklah! Tapi kau harus berhati-hati. Tetaplah berdua dengan kakakmu. Jangan berpisah dan cepat pulang! “ , tegas Ayahku menyetujui rencana tersebut.
Sebelum sempat berjingkrak-jingkrak, tiba-tiba beliau bersuara lagi.
“Tapi ingat!”
“Jangan coba-coba memutar haluanmu ke hutan terlarang itu! Kau tahu disana banyak orang yang hilang! Mulai dari penebang kayu yang hilang dan ditemukan 3 hari kemudian. Tinggal mayat,dan tersangkut di dahan pohon. Hindarilah resiko itu. Kau tahu juga bukan kalau banyak anak iseng hilang disana dan ditemukan senasib dengan penebang kayu. Bahkan,hingga kini pelaku hal tersebut belum diketahui. Masih dalam penyelidikan yang tak kunjung menemui titik terang. Hingga orang-orang menyebutnya kutukan karena ini sudah berlangsung sejak lama. Ditambah lagi–“
“Iya,yah. Aku tahu hal tersebut.” , potongku dengan sok tahu dan langsung melenggang masuk ke rumah.
***
“Hei! Kau tahu?” , tanyaku pada Kak Arif yang sedang membaca.
“Apa?” ,sahutnya sedikit tidak peduli.
“Kita diberi izin.” , kujawab pertanyaannya dengan bangga.
“Bohong”, dia mengatakan itu tanpa menoleh.
“Silakan tanya pada Ayah.” ,tantangku.
Dia melirikku dengan tajam. Baiklah,aku berhasil!
“Oke” , sahutnya segera melepas bacaannya dan bangkit dari tempat duduk.
***
“Jadi kita akan pergi ke bukit?”, tanya Kak Arif.
“Ya. Tapi, kita akan tetap pergi ke hutan terlarang itu. Setelah dari bukit.” ,sahutku dengan senyum nakal dan suara berbisik karena takut ketahuan.
“Aku tidak mau ikut ke hutan itu.” , sahutnya ketus.
“Kalau begitu aku akan pergi sendiri.”
“Jangan!” , bentaknya.
“Bukannya kau tidak mau ikut?” ,aku balik bertanya.
“Kau tidak boleh pergi ke hutan itu. Pokoknya tidak boleh. Kau mau rencanamu ini kulaporkan pada Ayah? Aku tidak setuju!”
“Oke,oke. Jangan lakukan itu. Kalau begitu,kita tidak jadi pergi ke hutan itu.”
“Awas saja kau.”
***
“Kak, boleh aku melihat-lihat kesana?” , tanyaku pada Kak Arif yang sedang melamun.
“Hah? Oh. Silakan.”
Dengan langkah yang ringan aku menuju kesana. Kakak memang payah ketika melamun. Aku sudah semakin dekat dengan hutan itu. Namun tiba-tiba,
“Hei! Berhenti! Danu! Berhenti disitu!”
Kulihat kakakku berlari dengan kecepatan tinggi ke arahku. Padahal dia membawa ransel yang besar.
“Apa?” ,sahutku sok santai.
“Mau kemana kau?! Kau sudah berjanji tidak akan kesana, ’kan?!” ,bentaknya.
“Aku tidak berjanji. Aku tidak pernah berjanji. Aku tidak ingin pergi kesana. Aku hanya ingin melihat-lihat disana.” , kubalas dia dengan cengir licik dan nakal.
“Tidak boleh! Aku tidak akan ikut kalau kau masuk kesana!”
“Baiklah,aku pergi sendiri.”, sahutku dengan ringan.
“Tidak boleh!” ,bentaknya sambil menahanku dengan meremas kerah bajuku.
“Astaga! Ayolah! 2 Menit saja disana tidak akan membunuh kita! Kau ikut atau tidak? Aku tetap akan pergi kesana. Biarpun kau menggebuki mukaku hingga bonyok. Aku tetap akan pergi kesana.” , sahutku melawannya.
“Itu hanya rumor. Ayo kita buktikan kalau itu salah!” ,sahutku sekali lagi.
“Dasar keras kepala!” ,teriaknya sambil mendorongku.
Dia mengerling tajam kepadaku. Dan aku membalasnya.
“ Ck! Baiklah! Daripada kau nekat pergi kesana sendirian dan celaka. Tapi,hanya 2 menit!”
***
“Ukh. Dingin sekali! Kenapa kita tak kunjung menemukan tempat kita masuk tadi?! Ada apa ini?! Apa kita sudah tersesat karena masuk terlalu jauh?”
“Ini karena kau! Kita tersesat! Kita tersesat! Periksa ponselmu! Cepat minta bantuan!”
“Tidak ada sinyal!”, balasku dengan berteriak ditengah deru hujan.
“Ponselku juga!” 
 Kami terdiam sesaat.
“Kita tersesat. Kita terlalu jauh.” , ujar Kak Arif
***
“Ukh..”
Mataku terasa berat dan pandanganku berkunang-kunang.
Kulihat orang itu masih dengan topengnya.
Dan kulihat bagaimana dia menguliti kakakku.
Aku menjerit. Namun,suaraku tertahan. Aku juga tidak bisa bergerak.
Mulutku disumpal dengan sesuatu yang keras dan diikat dengan kain.
Tangan dan kakiku rasanya sangat berat dan tidak bisa digerakkan.
Kulihat matanya yang berkilat ditimpa cahaya api unggun sedang menatapku.
Tiba-tiba,dia tertawa terkekeh-kekeh.
“Lihat! Kakakmu!” , teriaknya sambil mengangkat kepala kakakku yang sudah tak berkulit.
“Sebentar lagi hal ini akan makin menyenangkan!”,sambungnya.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan tubuhku. Rasanya kesemutan. Tapi,aku berhasil!
Aku masih bisa mendengar orang itu terkekeh-kekeh. Dan mulai berjalan ke arahku.
Aku segera bangkit dan berlari sambil menangis. Aku tidak akan bisa minta maaf pada Kak Arif. Dan aku masih ingat bagaimana orang itu tadi menguliti dan mengangkat kepalanya.
Aku terus berlari sambil membuka ikatan di mulutku. Kurasakan dinginnya tanah dan perihnya ranting ketika kuinjak. Saat itu,barulah aku sadar sepatuku sudah tidak di kakiku. Dan ranselku entah kemana. Namun,aku tetap berlari karena ketakutan luarbiasa.
Aku sudah berlari sangat lama. Kakiku terasa pegal. Namun tiba-tiba,aku merasa aku menapaki sesuatu yang keras dan berbeda dengan tanah.
Aspal!
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Kulihat jalan raya yang panjang namun sepi. Tak ada satupun kendaraan yang lewat. Aku segera berlari mengikuti jalan raya. Dan kulihat sepasang cahaya terang yang melintas dengan cepat.
Mobil!
Aku mencegat mobil itu. Kusadari mobil itu terlihat familier.
Mobil keluargaku!
Kulihat 2 pasang mata yang menatapku dari dalam mobil. Dan orang yang keluar dari mobil.
Ayah!
“Ayah!”,seruku.
“Siapa kau?!” , bentak Ayahku sambil menodongkan sebuah pistol.
“Ini aku! Danu!” , jawabku tak kalah keras.
“Aku tidak pernah mengenal orang dengan nama seperti itu! Dan apa-apaan kau memanggilku Ayah?! Siapa kau?!” , bentaknya.
“Ini aku,Yah! Danu! Anakmu!” ,sambil mengangkat tangan karena aku ketakutan ditodong dengan pistol.
“Berhenti memanggilku seperti itu! Kau sedang menghinaku bukan?! Kau menghinaku karena aku tidak pernah punya anak!”
“Apa?! Tidak! Ini aku! Aku anakmu! Hentikan leluconmu,Ayah!” ,jeritku.
“Nak,pergilah. Suamiku tidak pernah bermain-main dengan omongannya!” ,seru wanita yang keluar dari dalam mobil.
Ibu!
“Ibu! Ini aku! Danu,bu!” ,sahutku histeris.
“Jangan kau panggil diriku seperti itu. Aku minta kau pergi. Kau sudah kuperingatkan. Dan bukankah suamiku sudah bilang kalau kami tidak pernah punya anak? Atau kau memang berusaha menghina kami?”
“Ibu,Ayah! Kumohon! Ini aku!”
Hening. Lantas kudengar wanita tadi. Ibuku,bersuara
“Dia berusaha mempermainkan kita. Bunuh saja dia,sayang. Dia menyebalkan. Dan dia sangat kurang ajar.” ,kulihat Ibuku menyeringai dengan aneh. Seringai yang tak pernah kulihat darinya. Inikah Ibu jika marah?
Kulihat lagi Ayah. Kulihat bagaimana pistolnya yang hitam mengkilat diterpa cahaya lampu mobil ditodongkan ke arahku. Kulihat Ibu. Yang terlihat sangat marah sekaligus senang karena Ayah yang hendak membunuhku.
Kuingat wajah Kak Arif. Kuingat bagaimana kami berdebat ketika hendak masuk hutan.
Kuingat bagaimana hidup kami di rumah biasanya. Betapa indah rasanya kehidupan garing di rumahku dalam keadaan seperti ini. Ayah yang tegas ,namun sangat menyayangi keluarganya. Ibu yang lembut dan selalu pengertian. Kakak yang berani,bijaksana, dan pintar walaupun pendiam. Kakak yang sangat menyayangi dan sangat kusayangi. Kulihat bagaimana itu semua hilang.
Dan tiba-tiba aku teringat ada rumor bahwa hutan itu bisa membuat seseorang akan dilupakan oleh semua orang yang dikenalnya. Siapapun dia. Benarkah rumor itu? Benarkah pemandangan dihadapanku saat ini? Rasanya sakit sekali.
Kulihat lagi seseorang dari kejauhan. Si manusia bertopeng.
Kukatupkan mulutku yang membawa bencana dan penuh kebohongan.
Kubiarkan air mataku mengalir.
Kutengadahkan kepalaku. Kulihat langit yang sudah dipenuhi bintang tanpa awan yang menutupi.
Kulihat lagi pistol yang ditodongkan oleh Ayah.
Kulihat pula bagaimana kilat yang keluar dari situ ketika Ayah menarik pelatuknya.
Kudengar dentuman yang mengakhiri hidupku.

Aku dibunuh Ayahku sendiri.